Karya : Keluarga Pelajar Mahasiswa Kab. Berau (KPMKB) Makassar
Hujan mengguyur tepat ketika sang surya lelah menyinari semesta ini, cahayanya membias di sisi barat langit, rintiknya menepi di titik terendah pijakanku. Aku masih di sini, berdiri di tepi pantai, tersilaukan oleh senja yang menjelma menjadi air mata penyesalan, sesal akan dirinya yang seakan lupa jalan pulang ke hati ini.
Aku masih merasakannya, kuat dan erat genggamannya saat berlabuh di dermaga kecil pinggir kota, saat mataku tak sengaja menangkap binar matanya, meskipun saat itu tak ada rasa istimewa yang mengalir di setiap pembuluh darah, tak ada debaran yang begitu berarti, hanya sebatas dia ingin melompat naik ke perahu dan akupun menolongnya.
“terima kasih” katanya dengan beberapa helai rambutnya yang melengket mesra di antara bibirnya. Ingin rasanya kulepaskan helei rambut yang mengganggu itu, lalu kusisipkan diantara telinga sebelah kirinya, dan seketika aku dengan leluasa bisa melihat bibir merahnya di antara langit yang sedang sibuk merubah warnanya menjadi jingga. Kala itu debaran di dada mulai menjelma menjadi rasa malu yang memancarkan wajah kemerahan, bukan. Wajahku merah bukan karena pantulan senja.
“ya, dengan senang hati” kusuguhkan senyum yang paling manis yang kupunya untuk wanita senja itu.
Percakapan yang singkat kala itu, hanya sekadar berkata iya dan iya lagi, aku kehilangan kosa kata saat menatapnya, bibir ini membeku, otak pun seakan berhenti berpikir. Semuanya serba kaku, aku tak berani menatapnya setelah itu. Dan hingga sekarang aku merindukan tatapan pertamaku padanya.
“jangan melamun saja, ada kalanya menikmati senja sore ini jauh lebih berguna dibanding memikirkan gadis yang kau temui saat senja datang” ucap taufik dengan setengah semangat, mungkin setengahnya akan ia habiskan dengan memantau seindah apa senja sore ini.
“iya, iya, iya ! aku beli minum di ujung pantai dulu yah” jawabku dengan nada melemah.
“iya, jangan lupa minumnya yang dingin” katanya seakan memerintah
“uangmu mana?” seruku.
“pakai uangmu dululah” aku tak tahu, entah sudah berapa kali ia meminta minuman gratis padaku, dan dengan bodohnya aku selalu membalasnya senyum. Aku melupakannya sejenak.
Berjalan di tepian pantai, dengan menggenggam erat tangan wanita yang menjadi sandaran terakhir laksana harapan yang selalu ditenggelamkan senja setiap sorenya. Dan akan kembali lagi ketika fajar mulai menyinari, lalu direnggut senja lagi, dibangunkan fajar, dan begitu seterusnya hingga kesendirian ini berakhir dengan akhir cerita yang indah disertai dialog yang mesra.
Sepuluh menit berlalu, penjual minuman di ujung pantai tak nampak dalam pandangan. Terpaksa aku berbalik arah ke tempat taufik yang selalu egois menikmati senja dengan sendirinya.
“minumnya tak ada, tak ada yang menjual” kataku dengan nafas yang belum selesai kuatur sempurna.
“tak apalah” jawab taufik dengan nada gamblang.
Ini adalah musim kemarau, Juni datang menghampiri setelah Mei yang lebih dulu menyapa. Bulan ketika tangisan pertamaku menjelma menjadi senyum bahagia di wajah ayah dan ibu. Delapan belas tahun sudah aku bernafas lega tanpa beban yang berarti, jika kuhitung-hitung sudah delapan belas bulan gadis senja itu tak nampak lagi di dermaga. Ada setangkai rindu yang ingin kepersembahkan untuknya, meski itu hanya pertanda bahwa aku selalu menantinya di saat langit mulai menjingga.
Aku beranjak pulang, ketika mentari balik ke peraduan. Kuputuskan untuk berpisah dengan taufik di parkiran pantai. Ku cek layar smartphoneku, mungkin saja ada pesan singkat dari seseorang yang diam-diam ingin tahu keberadaanku sekarang, namun hasilnya nihil, tak ada pesan masuk dan jenis pesan yang lain pun.
“aduh hati-hati kalau jalan” suara wanita menjerit kesakitan mendayu-dayu di telingaku.
“maaf, aku tidak sengaja” perlahan mulai kuangkat pandanganku kearah wanita itu.
“kamu” katanya.
“iya, aku” dengan wajah polos tanpa rias.
“astaga, wanita senja itu bukan yah?” tanyaku dalam hati.
Hampir semenit aku dan dia berpandangan tanpa batas, kurunut dari ujung rambut, hingga ujung kuku jempol kakinya, aku telah sampai pada puncaknya, dan benar itu dia.
“aku yang ada di perahu waktu itu, yang membantumu untuk naik ke dalam perahu” jawabku dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahku.
“iya, aku ingat sekarang. Perkenalkan namaku Syafirah” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“aku, Restu.” Jawabku seraya menggapai uluran tangannya, aku tak ingin melepaskannya, mataku terlalu asik memandanginya tanpa kedipan.
“siapa ini, rah?” lelaki dengan tubuh tegap tiba-tiba menghampiri dan membuyarkan konsentrasiku menikmati situasi ini.
“ini Restu, orang yang pernah membantuku pada saat naik perahu menyeberang ke rumah mama”
“mama?” kataku memotong.
“iya, mama mertuaku.” Jawabnya tanpa beban.
“jadi ini?” jawabku pura-pura tegar, padahal separuh nyawaku sudah direnggutnya.
“iya ini suamiku” jawabnya.
Habis sudah ketegaranku, sia-sia sudah penantianku di setiap sore datang, apa yang kudapat setelahnya, aku hanya bisa menahan haru ditengah luapan kebahagiaan mereka. Aku baru saja ingin menyusun mimpi, mimpi dengan wanita senja yang bernama syafirah. Mimpi memandangi mentari berangkat dari timur dan pulang ke seberang barat langit. Sejak saat itu aku tak mampu lagi merasakan suka terhadap wanita, aku mulai membenci senja. Beberapa bulan aku lebih memilih menutup jendela kamar, tak akan kuijinkan sedikit cahaya senja menyelinap masuk ke kamarku, aku benci.
“aku selalu menunggumu di tepi pantai, res” taufik tiba-tiba berdiri dengan tangan dilipat setinggi dada.
“aku benci melihat senja”
“kenapa?, apa karena wanita senjamu tak kunjung datang?” katanya sambil tertawa kecil menatapku.
“berhenti sebut wanita senja, dia sudah mati sebelum sore datang”
“kau lagi patah hati rupanya”
“siapa bilang?” jawabku dengan nada tegar
“aku yang bilang, sudahlah kau pikir wanita senja hanya satu dan kau pikir senja itu hanya datang sekali saja dalam hidupmu. Restu, senja akan hadir hampir setiap sore jika kau bersedia menunggunya, wanita senja juga begitu, wanita juga bukan hanya sekali akan hadir di hidupmu. Jika kau mematikan rasamu cukup sampai disini, itu sama saja kau tak mengizinkan senja hadir dihidupmu lagi. Apa arti hidup jika hanya ada fajar di pagi harinya tanpa ada senja yang menjelma sebagai menutup hari-harimu.” Taufik mendadak bijak.
“aku tak bisa, kamu pulang saja.”
“oh jadi segini saja nyalimu sebagai lelaki, setelah hatimu dipatahkan bagai ranting pohon tanpa daun oleh wanita yang kau puja sebagai wanita senja itu?”
“apa katamu?” nadaku menantang.
“kataku, ayo pergi bersamaku menikmati senja sore ini. Jika kau tak ingin kepantai itu karena takut mengenang senja yang sama. Mari kita ke pantai lain, mungkin saja ada senja yang jauh lebih indah di sana. Saat senja menyapamu nanti , kau harus menyadari bahwa masih banyak hal indah yang Tuhan ciptakan selain wanita senjamu itu.” Kata taufik member semangat.
Setelah itu Senyum menghantarkanku kesenja yang baru bersama Taufik sebagai pakar senjaku saat ini.
Posting Komentar