Karya : Keluarga Pelajar Mahasiswa Kab. Berau (KPMKB) Makassar
Hari ini untuk kesekian kalinya mataku terpesona oleh indahnya bias senja, ada banyak mata yang tak tahu tentang keindahan senja, bahkan mata orang yang melahirkanku pun demikian adanya, namaku Ahmad, aku lahir dalam keadaan telanjang, menangis terlahir di dunia yang fana. Aku tak seperti Yesus yang lahir sudah dapat berbicara, ketika membela ibunya si bunda Maria menerangkan akan adanya kekuasaan Tuhan. Ahmad, nama ini mempunyai kepanjangan, namun ibuku yang memberiku nama, sampai sekarang enggan menyampaikan kepanjangan nama tersebut, yah namaku hanyalah sebuah singkatan, namun aku tak pernah mempermasalahkan.
Aku masih duduk termangu dikursi bambu, aku tenggelam dalam khayalan, masih sangat jelas, jemari lembut yang memberikan secarik kertas ke tangan kasarku, ia yang pandai memainkan laraku, memberiku pertanyaan yang membuatku diam tanpa secuilpun ucapan yang dapat kuucap, pertanyaan itu mengalir melalui alur gerak nadi hingga mencapai ke ubun-ubun, “ah , mestinya kau tak menanyakan itu padaku!,” gumamku dalam hati ketika ia telah hilang dalam pandangan kedua bola mataku, ia pergi dengan senyumnya yang khas, senyum yang membuat lesut pipi kirinya terlihat, hanya sepintas kupandangi perginya, aku merunduk terdiam.
Angin membelai ragaku, memainkan sisa debu dalam kulitku, hingga masuk ke pori-pori tanpa sehelai izin dari rambut yang berdebu, sementara mataku tak tertutup menatap senja yang semenit lagi akan meninggalkan kesendirian roh dalam jiwa, dan akan meninggalkan seuntai tanya yang tak mampu kujawab. Tiga puluh enam, tiga puluh lima, tiga puluh empat detik, mataku mulai kupejamkan, sayu rasanya memejamkan mata ini, aku berbisik untuk mataku “bersabarlah, esok kau akan menatap senja itu lagi, cobalah mengalah.” Tiga , dua, satu detik, mataku masih kupejamkan merasakan kehilangan senja sore ini. Hari ini, hari keseribu ataupun keseribu sekian kalinya mataku tak menyaksikan senja pamit dalam perantauanya, dulu pernah aku coba untuk menyaksikanya senja pulang secara utuh, namun di detik ketiga mataku tertutup sendiri dan tak sanggup untuk melihat kepergian senja, ada rasa takut yang kurasakan lewat mataku, namun aku tak tahu menjelaskan ketakutan apa yang dirasakan mataku, padahal hanya sebuah senja yang setia ia tatap. Ah bukan, bukan hanya senja yang setia ia tatap, melainkan juga wajah gadis yang memberinya pertanyaan yang membuat aku terlamun mencari jawabanya sampai sekarang. Mataku telah terbuka, senja tak ada lagi, namun senyum gadis masih kurasakan bersama sebuah tanya tak terjawab, dan hanya dapat kulamunkan lamat-lamat, sungai mengalir menyayikan gemercak air yang mengalir deras tepat didepanku, malam membisu dan petang menyapaku.
Di sebuah jemariku kupegang secarik kertas utuh dengan tulisan sebuah tanya yang belum kujawab, tadi aku masih ingat, ketika ia berjalan lambat menuju tempat kesukaanya, dia memegang buku kecil berwarna kuning bertuliskan teruntuk titik-titik, entah apa titik-titik yang dimaksud, aku hanya tahu tentang warna yang dia pilih, kuning warna yang sangat ia sukai, dia menganggap warna kuning cerah dan memiliki filosofi tersendiri, warna kuning membuat mata mampu melihat dengan jarak yang jauh dan warna kuning selalu diibaratkan ciri warna kegembiraan. Selain buku kuningnya ia juga membawa sebuah buku sajak Jalaluddin Rumi berjudul Keajaiban Cinta, saya mengakui dia mahir dalam membuat sajak, rata-rata sajak yang ia buat dan dia tempel dimading kampus sangat disukai oleh orang-orang kampus, sajaknya yang paling terkenal ialah kepada dosa, syairnya seperti ini;
KEPADA DOSA
Engkau yang mengajarkan kenikmatan
membelenggu dalam dusta
melamunkan dengan nyanyian jahiliah.
Kala itu,
aku masih ingat
melaluimu aku dihanyutkan dengan berhala dunia
akupun terlupa pada tuhanku.
Dia pandai memainkan kata dalam sajaknya, kepada dosa yang ia jadikan sebagai judul sajak, ia mengambarkan tentang sebuah dosa yang dapat membelenggunya hingga tuhannya pun ia lupa. Namanya Nilisa Batara Maryam, aku sering menyapanya dengan Nilisa, aku mengenalnya melalui lembaga organisasi kampus Jurnalistik, dalam pelatihan Jurnalistik akupun kembali dibuat tercengang, tulisanya terpilih menjadi tulisan berita terbaik yang dilaksanakan pada pelatihan Jurnalistik, dan aku harus mengakui sebuah kekalahan, aku dikalahkan oleh sosok Nilisa, tulisanku hanya menempati urutan terbaik kedua, dan seiring luluhnya hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, kami berdua semakin akrab karena ditempatkan pada bidang yang sama dalam lembaga Jurnalistik,bahkan aku dan Nilisa selalu diberi tugas khusus untuk memperbaiki setiap tulisan yang dibuat oleh para reporter lembaga kami.
Aku mengikuti langkahnya menuju tempat kesayanganya, dia mulai duduk pada sebuah kursi yang terbuat dari bambu, kakinya disilangkan dan jemarinya membuka secara perlahan buku kuningnya, ketika ia mulai menulis sebuah kata, aku secara tiba-tiba berlari menutup kedua matanya.
“Ahmad, kamu lagi kan? Lepaskan tidak!” gumamnya.
“kalau iyya kenapa?” balasku.
Jemarinya menyentuh jemariku, jemariku dipindahkanya dengan lembut, sejenak aku menatap matanya yang sudah sangat jelas berkantung, sepertinya ia tidur pukul 02.00 dini hari lagi, yah, ia sering bercerita, katanya kesenanganya tidur pukul dua dini hari, menurutnya tidur terlalu cepat atau pada jam sepuluh malam hanya membuat ia cepat mati, menurutnya dengan memanfaatkan waktu tengah malamnya hingga pukul 02.00, ia dapat membuat beberapa cerpen maupun sajak, ataupun mengerjakan tugas artikel kampus, dari pada hanya tidur cepat dan tidak ada manfaat yang ia dapatkan, menurutnya selagi masih hidup, kenapa juga musti memaksa mata tidur setiap jam sepuluh malam, ia pernah katakan, “pak Habibie saja tidurnya cuma tiga jam, sampai sekarang masih sehat. Itu karena beliau memanfaatkan betul waktunya, ia tertidur ketika memang matanya sudah merasa harus tertutup beberapa jam, dan terbukti juga kan apa yang ia hasilkan sekarang, masa kita tidak bisa lebih dari yang dicapai beliau.” Matanya memang jelas terlihat berkantung, namun sangat indah untuk dipandang, mungkin dalam karya yang dibuat penulis Ahmad Tohari berjudul mata yang enak dipandang, mata Nilisa lah yang dimaksud.
“Hey Ahmad, jangan ngelamun!” tuturnya mengagetkan.
Aku tersadar dalam lamunan.
“Ah tidak kok, aku tidak melamun, hanya sedikit menatapmu Nilisa he-he-he,” jawabku sambil tersenyum ke Nilisa.
“Ayo sini duduk!”
“tapi aku tidak mengangumu kan? Sepertinya kamu menulis sajak yah?”
“sebenarnya sih tadi baru mau mulai, tapi tidak jadi”
“kenapa?” tanyaku mendesak.
“Ah tidak kenapa-kenapa”
“gara-gara saya mungkin yang datang dan langsung menutup matamu?”
“tidak juga”
“terus gara-gara apa?”
Hampir semenit ia terdiam tak menjawab pertanyaanku, ia menghela napas secara perlahan, merasakan rimbun dedaunan pohon yang berhembus oleh nyanyian angin.
“Apakah musti kujawab Ahmad?” tanyanya serius.
Aku duduk mendekatinya, aku bersandar dikursi, menatapnya sekilas.
“Kalau tidak bisa dijawab, jangan dipaksa, bukankah katamu kemarin hal yang dipaksakan hanya memberi jawaban yang tak sempurna”
“aku bukan malaikat Ahmad, perkataanku pun bisa saja ada yang salah”
“ya sudah, kalau bisa dijawab, jawab saja.”
Nilisa menghela napas pelan, udara menghinggapi hidungnya, masuk disela-sela lubang hidungnya hingga dikeluarkan kembali dari paru-parunya. Dari pancaran wajah Nilisa, terlihat agak ragu berucap,
“mungkin ada yang ia rahasiakan? atau mungkin ia tak mengharap kedatanganku, entahlah.” Gumamku dalam hati.
Setelah hampir sekian lama berdiam, Nilisa kembali berucap.
“ada sebuah tanya yang tidak dapat kujawab Ahmad”
“tumben, biasanya kan kalau mengenai pertanyaan-pertanyaan kamu bisa jawab semua, sekarang kok ada yang tidak bisa, memangnya susah sekali yah Nilisa?”
“hm, begitulah Ahmad, saya juga heran, saya sendiri yang buat pertanyaan kok sampai segininya saya tidak bisa jawab. Memang salah yah Ahmad kalau saya juga tidak menjawab pertanyaan yang saya buat sendiri.”
Aku berfikir sejenak, menimang-nimang beberapa jawaban yang harus kujawabkan.
“Ah, tidak juga kok Nilisa, orang bertanya kan karena memang dia tidak tahu, makanya bertanya untuk kedepanya kalau ada yang jawab ia akan tahu,”
mendengar jawabanku, dia kembali merunduk, entah apa lagi yang dipikirkanya. Angin masih membelai rambutnya yang lurus, sementara matanya tak mampu berkedip, tatapanya terus tertuju pada buku kuningnya, jemarinya mulai ia gerakkan, membuka lembaran yang penuh dengan tulisan, pada pertengahan bukunya ia mengambil sehelai kertas yang terlipat berbentuk persegi, aku hanya memperhatikanya memainkan sehelai kertas itu, sejenak kertas tersebut ia buka dari lipatannya, terlihat tulisan yang berakhir tanda tanya.
“Nilisa, itu apa sih,” jawabku memecah keheningan.
“Oh, kertas ini, ini yang kita bicarakan dari tadi Ahmad”
“pertanyaan itu? bisa aku lihat”
“oh, bisa kok, nih baca saja” tuturnya memberikan kertas kepadaku.
Setelah kertas berada ditanganku, Nilisa tiba-tiba mendapat telepon dari keluarganya, memintanya untuk pulang cepat.
“Oh ia Ahmad, maaf yah saya pulang duluan, keluarga dirumah tiba-tiba nyuruh pulang cepat”
“sekarang?”
“ia, tidak apa-apa kan?” jawabnya tersenyum
“oh ia tidak apa-apa, hati-hati yah, eh maksudku selamat dijalan he-he-he, ucapan selamat dijalan kan lebih baik dibandingkan ucapan hati-hati” jawabku dengan membalas senyumnya.
“He-he-he beritahu jawabanya besok pertanyaanku yah, aku pulang dulu,” tuturnya berjalan sambil tersenyum.
Langkahnya terayun dengan pasti meninggalkanku yang duduk dengan memegang sehelai kertas yang berisi sebuah tanya, perlahan kubaca isi kertas tersebut, aku bingung namun akupun takjub atas pertanyaan yang diciptakan Nilisa, kubaca dalam hati isi kertas tersebut.
“Dalam Al-qur’an terdapat sebuah surah Al-ikhlas, ayat pertama berbunyi, qul huwa allahu ahad, artinya ialah, katakanlah:Dialah Allah, Yang Maha Esa. Kata Dialah merupakan terjemahan dari kata huwa, dalam bahasa Arab kata huwa berarti dia (laki-laki), berarti secara tidak langsung kata huwa dalam surah Al-ikhlas menunjukan bahwa Allah adalah laki-laki,
“apakah Tuhanku laki-laki?”
aku masih termangu, bibirku tak berucap sekata pun, ragaku terdiam, bibirku terdiam, dan kepalaku merunduk memikirkan sebuah tanya. Apakah Tuhanku laki-laki?.
Posting Komentar