Sudah nonton film “The Book Thief” ? Film ini berdasarkan pada buku berjudul The Book Thief oleh Markus Zusak, pengarang Australia. Awal cerita dimulai pada tahun 1938 dengan narasi yang dibawakan oleh Malaikat Kematian. Ia bercerita tentang Liesel Meminger (Sophie Nélisse), seorang anak perempuan berumur 9 tahun yang menarik perhatiannya. (sumber)
Film ini berkisah tentang perang, cinta, kemanusiaan, dan kebermaknaan buku bagi seorang anak di tengah perang dunia. Film yang berlatar belakang saat perang antara jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler (Der Fuhrer/Pemimpin dalam bahasa jerman) dengan Negara-negara Eropa lainnya maupun konflik internal jerman dengan Yahudi dan Komunis. Jerman dengan pemimpinnya Adolf Hitler yang merasa dirinya paling berkuasa. Baginya, meletusnya perang merupakan satu kemenangan.
Awal kisah film ini, kita diperlihatkan perpisahan seorang anak perempuan yaitu Liesel dan adiknya Werner dengan ibu nya. Dikarenakan ibu nya adalah seorang komunis, sehingga mereka hendak diserahkan ke keluarga baru untuk diasuh. Lalu diperjalanan Werner (adik Liesel) meninggal dunia. Tinggallah Liesel sendiri dalam keluarga baru tersebut. Jika kita melihat suatu kondisi pada saat Hitler naik di atas panggung kuasa. Ia menekankan pada kemurnian ras orang-orang Jerman dan menyingkirkan kaum yang mereka sebut Lebensunwertes Leben (tidak layak hidup). Di antaranya Musuh rasial yaitu Yahudi dan Gipsi yang dipandang sebagai musuh karena darah mereka, Musuh politik seperti Marxis, Liberal, Kristen, dan “Reaksioner”, Musuh moral seperti homoseksual, para penjahat, dan pelacur. (sumber). Itulah awal kisah dengan setting sejarah pada film ini.
Hingga akhirnya sampailah ia di kediaman orang tua asuhnya Hans Hubermann (Geoffrey Rush) dan Rosa(Emily Watson). Kedatangan Liesel menarik perhatian Rudy Steiner (Nico Liersch). Anak laki-laki yang tinggal dekat rumah keluarga Hubermann. Dan akhirnya Rudy menemani Liesel pada hari pertama Liesel masuk sekolah.
Ketika guru meminta Liesel untuk menuliskan namanya di papan tulis, ia hanya mampu menulis tiga huruf ‘X’, menunjukkan bahwa ia tidak bisa membaca. Kemudia ia diolok-olok oleh temannya. Dan berakhir dengan Liesel memukul salah satu diantara mereka. Dengan nada yang kesal Liesel mengatakan “Hanya karena aku tidak bisa membaca tidak membuatku bodoh”. Setelah mengetahui Liesel tidak bisa membaca, Hans mengajari Liesel membaca. Dan sejak saat itu Liesel menjadi terobsesi untuk membaca.
Pada suatu malam pas hari ulang tahun Fuhrer (Hitler) semua penduduk berkumpul di halaman luas untuk mendengarkan pidato. Selepas pidato, berlanjut pembakaran buku. Seluruh warga membuang buku dalam api unggun besar berbahan buku. Hal serupa pernah terjadi di Indonesia. Robertus Robert pada kuliah umum “Pelarangan Buku Dalam Politik Indonesia” memakai istilah Librisida atau konsep yang diambil dari Libricide yang bersumber dari Rebecca Knuth yang berarti pembunuhan terhadap buku. (sumber)
“Kata demi kata mengantarkan fantasi. Habis sudah, habis sudah. Bait demi bait pemicu anestasi, hangus sudah, hangus sudah.” (Efek Rumah Kaca – Jangan Bakar Buku)
Kita bisa melirik sejarah yang dialami oleh bangsa Indonesia kala Rezim ORBA (Orde Baru) berkuasa. Pembunuhan atas inteltualitas dilakukan secara sistematis. Pembakaran buku-buku berhaluan kiri dilarang beredar di masyarakat. Hal itu tidak lain karena buku-buku tersebut bisa saja mengganggu relasi kuasa yang telah dibentuk. Dengan dalih revitalisasi atas Pancasila yang senantiasa digembor-gemborkan oleh pemerintah ORBA. Tetapi secara tidak langsung telah membunuh semangat dan mereduksi nilai pancasila itu sendiri. Salah satu contoh buku yang dilarang beredar berjudul Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa. Buku ini membeberkan kesemrawutan peristiwa G30S PKI.
Lalu masuk era reformasi pada tanggal 21 april 2001. Ada sekelompok masyarakat menamakan diri mereka Aliansi Anti Komunis membakar sebuah buku ang berjudul “Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme”. Karya Prof. Magnis Suseno. Karna pemerintah dianggap tidak menjalankan TAP MPRS No XXV 1966 tentang PKI sebagai organisasi terlarang dan penyebarluasan marxisme-leninisme yang setelah itu dihapuskan oleh presiden Gus Dur kala itu. (sumber)
Kejadian-kejadian di atas menggambarkan bahwa kegiatan membaca dan menulis tidak hanya mempengaruhi individu atau masyarakat saja. Tapi bisa juga mempengaruhi negara dalam wilayah ideologis. Orang-orang seperti Soe-Hok-Gie atau Ahmad Wahid tidak pernah bermimpi bahwa suatu saat catatan harian mereka akan dibukukan lalu dipublikasikan. Seperti Di Bawah Lentera Merah (Yang tidak pernah saya lihat baik dalam versi media cetak maupun media elektronik), Catatan Sang Demonstran, lalu Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahid (Kalo ini untung teman-teman Taman Baca punya 1, hehe). Terakhir buku Catatan Harian Anne Frank perempuan berdarah yahudi yang mengungsi akibat kekejaman NAZI.
Saat ini kebebasan membaca sudah terbuka lebar. Tapi sayangnya, dunia kampus yang sarat dengan Intelektualitas tetapi alpa dengan budaya literasi (membaca dan menulis). Bagiku kampus ibarat rumah tua yang tidak terjamah kala dihuni oleh makhluk yang tidak membaca.
Okay kembali pada film tadi. Sekedar saran kalo teman-teman masih penasaran kenapa Liesel mencuri buku ? mending nonton saja langsung. Refleksikan ke dalam diri, kalo bisa dituliskan lebih bagus lagi. Hehehe.
Via : TBA #MiniMagz #OrangMuda
Posting Komentar