Oleh: Verawati
(Koordinator Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM)
Keluarga Pelajar Mahasiswa Balikpapan (KPMB) Makassar Periode 2024-2025 / Mahasiswa
Psikologi Universitas Negeri Makassar)
Dalam beberapa tahun terakhir, Kota Balikpapan telah
menjadi sorotan sebagai daerah penyangga utama untuk Ibu Kota Nusantara (IKN).
Namun, di tengah persiapan acara besar kenegaraan seperti upacara HUT ke 79
Republik Indonesia yang diadakan di IKN pada tanggal 17 Agustus 2024 lalu,
daerah ini justru dilanda bencana banjir dan longsor. Peristiwa ini tidak hanya
terjadi dalam beberapa kali, tetapi sering kali sehingga menjadi salah satu isu
lingkungan yang paling mendesak di Kota Balikpapan. Sebagai kota pesisir dengan
populasi yang terus bertambah, Balikpapan menghadapi tantangan serius dalam
pengelolaan tata ruang dan infrastruktur lingkungan.
Hujan deras yang mengguyur kota ini beberapa bulan
terakhir sering kali menyebabkan banjir di berbagai wilayah, tercatat pada
bulan Agustus 2024 terdapat 15 kelurahan yang tersebar di enam kecamatan
merasakan bencana banjir ini. Terlepas dari curah hujan yang tinggi sebagai
pemicu utama, faktor manusia dan pengelolaan infrastruktur tanpa
mempertimbangkan sistem drainase yang memadai menyebabkan aliran air terhambat.
Hal ini mengakibatkan air meluap dan menggenangi kawasan pemukiman dan
menyebabkan fenomena banjir ini seolah menjadi langganan yang semakin sulit
dihindari, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Isu banjir di Balikpapan menjadi sangat penting untuk
dibahas karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan masyarakat. Selain
merendam rumah dan fasilitas umum, banjir juga mengganggu akses transportasi
dan aktivitas ekonomi masyarakat. Data menunjukkan bahwa 15 kelurahan di
Balikpapan terkena dampak banjir, dengan satu orang dilaporkan mengalami
luka-luka akibat bencana ini. Genangan air yang tinggi tidak hanya merusak
barang-barang berharga warga, dan mengancam stabilitas fisik wilayah, tetapi
juga membawa dampak signifikan pada kesejahteraan mental masyarakat yang
terdampak. Pandangan penulis ini didukung oleh banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa bencana alam dapat memicu trauma psikologis, gangguan stres,
hingga perubahan perilaku sosial. Seperti banjir yang melanda Kota Balikpapan
menyebabkan masyarakat yang terdampak kehilangan tempat tinggal, akses
transportasi terganggu, dan fasilitas umum rusak.
Dari perspektif psikologi komunitas, dampak banjir
juga memengaruhi dinamika sosial masyarakat terdampak. Di satu sisi, bencana
dapat memperkuat solidaritas masyarakat yang terlihat dari kerja sama dalam
membersihkan lingkungan dan mendistribusikan bantuan. Namun, di sisi lain,
konflik sosial juga dapat muncul jika distribusi bantuan dianggap tidak adil
atau jika terjadi ketegangan antar masyarakat yang meningkat akibat
keterbatasan sumber daya. Oleh karena itu, intervensi pemerintah harus
mempertimbangkan kesejahteraan individu sekaligus memperkuat kohesi komunitas
untuk menciptakan pemulihan yang berkelanjutan.
Banjir, seperti bencana lainnya sering kali menjadi
katalis untuk trauma psikologis karena sifatnya yang tiba-tiba dan merusak. Sebab-akibat
dari dampak banjir ini penulis klasifikasikan dari tiga aspek utama, yaitu
ketidakstabilan lingkungan, ketidakpastian ekonomi, dan disrupsi sosial.
Ketidakstabilan lingkungan, seperti rumah yang rusak atau hilang, menyebabkan
korban kehilangan tempat berlindung yang aman, yang pada akhirnya memengaruhi
rasa aman mereka secara emosional. Ketidakpastian ekonomi, seperti kerusakan
properti atau kehilangan pekerjaan, meningkatkan stres individu dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, disrupsi sosial, seperti evakuasi massal
atau isolasi, dapat memperburuk perasaan kesepian dan keterasingan.
Penanganan fisik seperti infrastruktur drainase yang
lebih baik atau peningkatan tata ruang dapat mencegah banjir di masa yang akan
mendatang, tetapi tidak secara langsung membantu korban yang sudah terdampak
dari bencana banjir tersebut. Oleh karena itu, banjir tidak hanya membawa
dampak fisik yang besar, tetapi juga dampak psikologis yang mendalam bagi
masyarakat yang telah terdampak.
Oleh sebab itu, penting untuk menekankan bahwa
penanganan bencana banjir tidak hanya dapat mengandalkan upaya pemerintah saja,
tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat. Edukasi lingkungan
dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan serta
keberlanjutan tata ruang sangat penting dalam mencegah terjadinya banjir.
Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai dampak
perilaku sehari-hari terhadap lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan
yang dapat menyumbat saluran air dan merusak infrastruktur drainase.
Pemerintah juga perlu memperkuat kolaborasi dengan
sektor swasta dan lembaga pendidikan dalam merancang dan menerapkan kebijakan
yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan. Program penghijauan dan perbaikan
sistem drainase yang terintegrasi, serta pembangunan infrastruktur yang ramah
lingkungan, perlu menjadi prioritas dalam perencanaan kota jangka panjang.
Tidak hanya itu, pihak berwenang juga perlu memperkuat sistem peringatan dini
dan memberikan pelatihan kesiapsiagaan kepada masyarakat untuk menghadapi
kemungkinan bencana di masa depan.
Untuk mempercepat proses pemulihan, pemerintah juga
dapat bekerja sama dengan para profesional kesehatan mental dan psikolog untuk
memberikan dukungan emosional kepada korban. Program pendampingan psikologis
yang terfokus pada trauma pasca-bencana perlu diadakan di titik-titik pemulihan
atau tempat pengungsian. Dengan dukungan yang tepat, masyarakat yang terdampak
bisa merasa lebih aman dan termotivasi untuk kembali membangun kehidupan
mereka, baik secara fisik maupun mental.
Posting Komentar