Serasa di Kalimantan bisa jadi ungkapan tepat dalam mendefinisikan panorama Mangrove Center Batu Ampar Balikpapan Kalimantan Timur. Keindahan wisata alam yang terbilang makin sulit bisa ditemui di bumi etam istilah bumi borneo yang kian dijejali dengan industry pertambangan, perkebunan hingga mall pusat perbelanjaan.
Hutan mangrove alias bakau seluas 150 hektare di bibir lingkar luar kota Balikpapan ini memang cukup unik. Posisi tepat dipinggir pemukiman warga atau berjarak 1 kilometer pusat kota Balikpapan hingga masuk kawasan Somber yang menjadi jalur penghubung utama Trans Kalimantan.
Mereka yang belum lama tinggal di Balikpapan, mungkin akan kecele mencari lokasi pasti Mangrove Center yang tersembunyi di kawasan perumahan Graha Indah Batu Ampar. Gapura Selamat Datang di pintu gerbang pemukiman juga tidak menyinggung keberadaan hutan bakau yang disebut sebut sebagai yang terluas di Kalimantan Timur. Seperempat jam mengendarai kendaraan bermotor hingga sejauh 500 meter – baru bisa didapati papan penunjuk keberadaan lokasi Mangrove Center Batu Ampar.
Tahun 90 an, kawasan ini dulunya adalah hutan bakau alami yang dulunya banyak ditemui di Pulau Kalimantan. Memasuki tahun 2000, PT Tangguh Centra Bumi selaku perusahaan pengembang kemudian membuka kawasan tersebut untuk membangun 300 perumahan guru guru Balikpapan. Sebagai dampak negatifnya, masyarakat turut berinisiatif membabat tanaman mangrove yang berbatasan langsung dengan izin tanah milik perusahaan.
“Mereka berdalih punya izin hak garap sehingga mematok sebagian hutan mangrove,” kata Ketua RT 85 Batu Ampar, Agus Bei, Kamis (9/10/2014).
Agus sebenarnya sudah tahu, ini hanya sebagai akal akalan masyarakat dalam upaya memetik keuntungan adanya proyek pengembangan perumahan. Alih alih membuka tambak ikan sebagai kedok, mereka sebenarnya mengincar kawasan hutan mangrove untuk nantinya bisa ditawarkan sebagai perluasan perumahan pada pihak pengembang.
Hanya dalam tempo sekejab terjadi pembabatan hingga 40 persen luasan hutan mangrove Batu Ampar yang total sebelumnya mencapai 150 hektare. Warga masyarakat Balikpapan berbondong bondong mematok kawasan mangrove, dengan harapan bisa mencicipi keuntungan dari pengembangan kota Balikpapan di masa mendatang.
Hingga akhirnya bencana itu datang jua. Pertengahan 2001 silam, hutan deras disertai angin putting beliung memporak porandakan sebanyak 300 rumah di kawasan pemukiman Graha Indah yang berbatasan langsung dengan hutan mangrove. Banjir setinggi pinggang orang dewasa menggenangi setiap rumah warga, ditambah kerusakan atap rumah yang rompal diterjang angin putting beliung.
“Alam marah karena manusia merusak hutan mangrove,” kata Agus yang kala itu juga sebagai korban.
Agus berpendapat bencana tersebut disebabkan oleh badai Selat Makassar yang langsung menerpa pemukiman warga. Angin puting beliung dengan leluasa menerjang pemukiman warga disertai luapan air Sungai Somber. Tegakan pohon mangrove sebagai benteng harapan satu satunya gagal menangkis terpaan angin kencang itu. Air laut yang sedang pasang juga leluasa menggenangi rumah rumah warga yang tepat berada dipinggiran hutan mangrove.
Celakanya lagi, Agus juga merasa terjadi penurunan ketinggian pemukiman perumahan Graha Indah hingga 2 centimeter per tahunnya. Itu semua akibat menipisnya kelebatan hutan mangrove yang sebenarnya akar sebagai penguat dataran sekitar. Akar tanaman mangrove yang awalnya kokoh mencengkeram tanah, tidak lagi mampu menahan proses pengikisan gelombang air laut.
Berawal dari situasi ini, Agus kemudian berupaya menggerakan warga RT nya dalam penyelamatan hutan mangrove di kawasan mereka. Memanfaatkan posisinya sebagai Ketua RT 85 Batu Ampar, dia berupaya menyakinkan warga akan arti penting tumbuhan mangrove bagi kelangsungan lingkungan sekitar.
Agus mengakui bukan perkara gampang membuka wawasan masyarakat akan arti penting lingkungan bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Pria perantauan asal Banyuwangi ini juga terpaksa menebalkan muka serta menguatkan hati akan sikap warganya yang terlihat sinis melihat dirinya sendirian membudidayakan tanaman mangrove.
“Dianggap orang aneh, mangrove kok ditanam. Kenapa kok tidak tanam pohon mangga yang hasilnya jelas bisa dinikmati secara cepat,” ujarnya.
Bersamaan cercaan masyarakat, Agus akhirnya sendirian mengupayakan penanaman kembali hutan mangrove yang kala itu sudah mengalami kebotakan hingga 70 hektare. Akhirnya bersama dengan mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda, dia menanam 1 ribu bibit mangrove di atas lahan yang sudah kritis.
“Belajar sendiri caranya penanaman hingga perawatan mangrove dari buku dan internet. Tidak ada yang memberitahu bagaimana caranya yang benar,” kata pria yang punya keahlian teknik mesin ini.
Demi menjelajahi kawasan seluas 150 hektare, Agus kemudian juga nekat merogoh kocek pribadinya dengan membeli dua perahu kayu plus mesinnya yang totalnya seharga Rp 25 juta. Keberadaan perahu memang diperlukan guna mendistribusikan bibit mangrove ke sejumlah titik lahan kritis di tengah kawasan yang terhubung langsung dengan Sungai Somber dan Wain ini.
“Selama 10 tahun ini, dana pribadi saya sebesar Rp 99 juta untuk membiayai Mangrove Center,” ungkapnya.
Agus mengaku bisa memaklumi bahwa masyarakat juga perlu contoh adanya tokoh panutan yang bisa jadi tauladan dalam penyelamatan hutan mangrove di beranda rumah mereka. Dia menyadari bahwa pola pikir masyarakat belum terbuka akan arti penting pohon mangrove kelangsungan ekosistim sekitar.
“Karena bila ada bencana, kami adalah orang pertama mengalaminya. Rumah kami berbatasan langsung dengan mangrove. Bukan orang lain yang kebanyakan tidak perduli,” ujarnya.
Kerja keras Agus akhirnya mulai membuahkan hasil positif. Masyarakat RT 85 Batu Ampar sedikit demi sedikit hatinya mulai tergerak dalam upaya penyelamat hutan mangrove ini. Langkah awal dengan terbentuknya kelompok relawan beranggotakan delapan orang yang bertugas melakukan penamanan, pemeliharaan serta pengawasan hutan mangrove dari segala aksi perusakan.
“Wali Kota Balikpapan yang kemudian meresmikan berdirinya kelompok relawan bertepatan waktunya dengan hari lingkungan hidup 5 Juni 2010 silam,” tuturnya.
Lewat kuasa Pemerintah Kota Balikpapan, Agus berharap nantinya akan ada payung hukum yang kuat menaungi keberadaan Mangrove Center di Batu Ampar ini. Sesuai statusnya, kawasannya memang masih berstatus tanah negara yang sewaktu waktu bisa beralih fungsi sesuai kebijakan kepala daerah sedang berkuasa. Payung hukum semisal kawasan konservasi tentunya dibutuhkan dalam menjaga keberlangsungan mangrove Batu Ampar yang menyimpan potensi pariwisata, ekologi, ekonomi dan lingkungan.
“Sehingga nantinya menjadi tugas bersama dalam menjaga kelangsungan kawasan mangrove ini. Ini bisa terjadi bila statusnya menjadi kawasan konservasi,”
via : News Balikpapan
Posting Komentar