Menurut para psikolog, ada dua hal besar yang menganggu hidup manusia: fear (takut dengan cabang-cabangnya, seperti cemas, sedih, depresi) dan angry (marah dengan cabang-cabangnya seperti, jengkel). kedua hal itu membuat manusia hidup menderita.
Penyebabnya ada dua: intrinsik (dari dalam, seperti cara pandang) dan ekstrinsik (dari luar, seperti gangguan orang). Menurut para psikolog, derita dan bencana merupakan dua hal yang berbeda. Derita merupakan reaksi emosional yang bersifat dari dalam. Dia berasal dari cara pandang kita yang keliru tentang sesuatu. Sedangkan bencana adalah sesuatu yang datang dari luar diri kita yang kedatangannya tidak bisa kita tolak. Karena itu, bencana tidak selamanya membuat kita menderita, itu tergantung bagaimana cara kita memandang bencana.
Saya tidak pernah membayangkan orang yang pernah saya tolong menipu saya, orang yang saya percayai mengkhianati saya, orang yang jiwanya saya selamatkan membahayakan saya, oang terdekat menjauhi saya, pemimpin yang saya pilih tidak amanah and toh semua itu terjadi. Kejadian itu tidak bisa kita tolak kedatangannya, itulah bencana.
Sedangkan derita, kita dapat memilihnya. Kehilangan sendal jepit di mesjid bisa membuat saya menderita, tapi bisa juga membuat saya bahagia. Saya akan menderita kalau memandang kehilangan sendal itu sebagai kehilangan sesuatu yang paling berharga. Dalam keadaan menderita, saya akan mulai memaki, menyumpahi dengan kata-kata yang sebetulnya tidak merujuk pada kenyataan, melainkan menunjukkan ekspresi kejengkelan dan emosi yang tidak terkontrol. Tapi saya akan bahagia kalau berpikir bahwa kehilangan sendal itu merupakan cara orang minta tolong atau meminjam sendal kepada saya untuk waktu yang tidak ditentukan (tentu cara pandang ini hanya untuk hal-hal yang bersifat individual bukan sosial). Artinya, pilihan-pilihan semacam ini hanya untuk peristiwa yang berkenaan dengan pribadi saya. Tetapi jika kejadian-kejadian itu berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas, maka saya memilih untuk melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan.
Masih menurut para psikolog, jika kita selalu menderita jengkel terhadap sesuatu, berarti kita tidak dapat mengendalikan emosi dan cara pandang kita sendiri tentang sesuatu. Orang lain telah mengambil alih rasa dan pikiran kita karena itu mereka seenaknya mengendalikan kita. Kita tidak lagi mampu menjadi tuan bagi diri kita sendiri. Ini berarti kita telah menjadi budak orang lain. Padahal derita dan bahagia itu pilihan kita. Karena bahagia dan derita itu pilihan, maka memilih derita berarti kita telah berbuat dosa. Mengapa demikian? Karena orang bahagia itu adalah orang yang mengingat Allah SWT, sedangkan orang menderita adalah orang yang melupakan Allah SWT.
Al-quran (QS. Al-Jumuah: 10) berkata, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu bahagia”.
Kata ‘aflaha yang sering diterjemahkan “menang”, “beruntung”, “berjaya”, dan “bahagia”, dalam ayat di atas merupakan perintah. Dan semua perintah dalam Al-quran, hukumnya wajib. (A. Jawad/FH)
Via : Islaminesia
Posting Komentar