OPINI
Oleh: Zulhijriana Nur
(Presidium Keluarga
Pelajar Mahasiswa Balikpapan (KPMB) Makassar Periode 2024-2025 / Mahasiswa
Manajemen Keuangan Universitas Negeri Makassar)
Rencana pemerintah indonesia untuk menaikkan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 telah memicu berbagai
tanggapan dari masyarakat. Perlu diketahui Pajak Pertambahan Nilai atau PPN
adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 42
Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak
yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean. PPN
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.
Kenaikan PPN menjadi 12% ini karena adanya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Bab
IV tentang Pajak Pertambahan Nilai pada Pasal 7, yang dimana pasal itu
berbunyi, ”Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebesar 11% mulai berlaku pada
tanggal 1 April 2022, sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada
tanggal 1 Januari 2025”.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja
dengan komisi XI DPR mengatakan, rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% masih
sesuai dengan amanat UU HPP. Menurutnya, kebijakan itu mesti tetap dijalankan
untuk menjaga kesehatan APBN di tengah kondisi ekonomi global yang tak pasti.
Kebijakan ini kurang mempertimbangkan dampak langsung
terhadap kelompok berpenghasilan rendah yang akan paling terdampak oleh
kenaikan harga barang dan jasa. Di Indonesia, tingkat ketimpangan masih sangat
signifikan, kenaikan PPN bisa memperburuk situasi. Pemerintah seharusnya lebih
peka terhadap daya beli masyarakat yang sudah tertekan oleh inflasi dan
pemulihan pasca-pandemi.
Selain itu juga pemerintah belum memberikan penjelasan
yang rinci dan transparan mengenai rencana penggunaan dana hasil kenaikan PPN.
Tanpa kejelasan ini, masyarakat cenderung skeptis terhadap manfaat yang akan
mereka terima. Sosialisasi yang minim juga membuat masyarakat dan pelaku usaha
tidak siap menghadapi perubahan ini.
UMKM sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia,
kemungkinan besar akan terkena dampak negatif dari penurunan konsumsi akibat
kenaikan harga. Kebijakan ini berisiko menekan daya saing UMKM, terutama jika
tidak ada insentif khusus atau kebijakan perlindungan untuk sektor ini.
Kebijakan pemerintah ini bisa memperlambat pertumbuhan sektor usaha kecil.
Alih-alih menaikkan PPN, pemerintah seharusnya
mempertimbangkan alternatif lain, seperti memperluas basis pajak melalui
perbaikan sistem perpajakan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap
penghindaran pajak. Reformasi pajak yang lebih progresif, di mana kelompok
berpenghasilan tinggi dikenakan tarif pajak lebih tinggi, bisa menjadi solusi
yang lebih adil daripada membebani seluruh lapisan masyarakat secara merata.
Pemerintah perlu memperhatikan respons masyarakat dan
pelaku usaha serta memastikan adanya dialog terbuka sebelum kebijakan ini
diterapkan. Berikut adalah proyeksi masalah yang mungkin timbul:
a. Penurunan
Daya Beli
Salah
satu dampak paling langsung adalah penurunan daya beli masyarakat. Kenaikan PPN
akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok
yang sangat sensitif terhadap perubahan harga. Ketika harga barang dan jasa
naik akibat kenaikan PPN, masyarakat akan memiliki lebih sedikit uang untuk
membeli barang dan jasa lainnya, terutama kelompok yang berpendapatan rendah
dan menengah berpotensi mengalami penurunan daya beli karena mereka
mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan dasar.
b. Meningkatnya Tingkat Kemiskinan
Dampak
penurunan daya beli ini bisa mendorong peningkatan tingkat kemiskinan, terutama
jika tidak disertai dengan kebijakan mitigasi yang efektif. Masyarakat yang
sebelumnya berada di batas garis kemiskinan bisa terdorong masuk ke dalam
kelompok miskin akibat kenaikan harga-harga. Pemerintah perlu memastikan
kebijakan pendukung yang efektif untuk melindungi kelompok rentan dan menjaga
stabilitas sosial-ekonomi.
c.
Dampak Pada Lapangan Pekerjaan
Penurunan
konsumsi masyarakat akan memengaruhi pendapatan pelaku usaha, terutama UMKM.
Jika bisnis mengalami penurunan omzet, ini dapat memicu pengurangan tenaga
kerja, peningkatan pengangguran, dan hilangnya sumber pendapatan bagi keluarga
miskin. Pengangguran yang tinggi biasanya berhubungan erat dengan peningkatan
tingkat kemiskinan.
d.
Inflasi
Peningkatan
tarif PPN dapat memicu terjadinya inflasi karena harga barang dan jasa naik
secara umum. Ketika harga-harga barang dan jasa secara umum naik, permintaan
untuk menaikkan upah juga akan meningkat. Jika permintaan kenaikan upah ini
tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas, maka biaya produksi
perusahaan akan naik dan mereka akan memindahkan biaya tambahan ini ke konsumen
melalui kenaikan harga. Selain itu, Inflasi ini akan menurunkan nilai rill
pendapatan masyarakat, mengurangi konsumsi, dan memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Siklus ini bisa terus berulang dan menyebabkan inflasi yang
berkepanjangan.
e. Ketidakpuasan
atau Kesenjangan Sosial
Kenaikan
PPN dapat memicu ketidakpuasan sosial jika masyarakat merasa bahwa kenaikan
tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan pelayanan publik. Ini dapat
meningkatkan risiko protes sosial atau penurunan kepercayaan terhadap
pemerintah. Kenaikan PPN juga bisa memperparah ketimpangan sosial, karena
dampak yang ditmbulkan lebih dirasakan oleh kelompok berpendapatan rendah
dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tinggi.
Masyarakat
berpenghasilan tinggi umumnya memiliki proporsi pengeluaran yang lebih kecil
untuk barang dan jasa yang terkena PPN dibandingkan dengan masyarakat
berpenghasilan rendah. Akibatnya, kenaikan PPN akan lebih membebani masyarakat
berpenghasilan rendahkesenjangan sosial bisa semakin melebar, dan ini
memperparah risiko terjadinya ketidaksetaraan ekonomi yang berdampak langsung
pada kemiskinan.
f.
Penurunan
Konsumsi
Dengan
naiknya harga akibat PPN, permintaan konsumen terhadap barang dan jasa
cenderung menurun, terutama untuk barang yang tidak esensial. Ini berpotensi
menekan omzet pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UMKM), yang
bergantung pada konsumsi domestik.
g.
Beban
Administrasi
Kenaikan
PPN dapat meningkatkan beban administrasi bagi perusahaan, terutama UMKM yang
sebelumnya tidak terbiasa dengan sistem perpajakan yang kompleks. Mereka
mungkin memerlukan investasi tambahan untuk sistem akuntansi dan pelatihan
sumber daya manusia.
h.
Persaingan
Tidak Seimbang
Perusahaan
besar mungkin lebih mampu menyerap dampak kenaikan PPN dibandingkan UMKM. Ini
dapat menciptakan ketimpangan kompetitif, di mana UMKM kesulitan bersaing
dengan perusahaan yang memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menetapkan
harga.
Agar kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% dapat diterima
dan membawa manfaat jangka panjang, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah
strategis yang responsif terhadap kritik yang telah disampaikan, Seperti
peningkatan program bantuan sosial seperti bantuan langsung Tunai (BLT) atau
subsidi kebutuhan pokok untuk kelompok berpendapatan rendah guna mengurangi
dampak kenaikan harga.
Pertimbangkan pengecualian atau tarif PPN yang lebih
rendah untuk barang dan jasa esensial seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan
untuk melindungi daya beli masyarakat miskin. melakukan kampanye informasi yang
komprehensif melalui media massa dan digital untuk menjelaskan alasan kenaikan
PPN, manfaat yang diharapkan, serta rencana penggunaan dana. Sediakan juga
laporan penggunaan dana dari PPN yang dapat diakses publik secara berkala untuk
meningkatkan transparansi dan membangun kepercayaan masyarakat.
Untuk pelaku UMKM, Pemerintah bisa memberikan insentif
pajak seperti pengurangan tarif PPh atau penundaan pembayaran pajak bagi UMKM
selama masa transisi. Selain itu, sediakan program pembinaan untuk meningkatkan
kemampuan UMKM dalam beradaptasi dengan perubahan ini. Perkuat juga akses UMKM
ke pembiayaan murah, mungkin bisa melalui program kredit mikro dengan bunga
rendah untuk membantu UMKM mempertahankan likuiditas.
Pemerintah juga bisa berfokus pada peningkatan kepatuhan
pajak dan pengurangan penghindaran pajak di kalangan kelompok berpenghasilan
tinggi dan perusahaan besar. Mempertimbangkan kebijakan pajak yang lebih
progresif, di mana kelompok berpenghasilan tinggi dikenakan tarif pajak yang
lebih besar.
Dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang kompleks,
kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% adalah langkah yang berani namun penuh
risiko. Agar kebijakan ini berhasil, pemerintah perlu memastikan bahwa
peningkatan pendapatan negara sejalan dengan perlindungan terhadap
kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan sektor usaha, terutama UMKM. Melalui
transparansi, dukungan sosial yang tepat, dan dialog terbuka dengan semua
pemangku kepentingan, kebijakan ini memiliki potensi untuk menjadi fondasi yang
kuat bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dengan pendekatan yang inklusif
dan adil, pemerintah dapat memastikan bahwa dampak positif kebijakan ini
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, sekaligus menjaga kepercayaan publik
terhadap kebijakan fiskal yang diambil.